Oleh Gregorius Mosed Karhindra, ST
Melanjutkan
dari tulisan sebelumnya ‘beasiswa dan dongeng kemajuan masyarakat Nusa Tenggara
Timur (NTT)’ maka perlu dicari solusi yang lebih tepat mengena untuk melawan
ketertinggalan sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terlebih
yang hidup di pedesaan dan daerah terpencil. Semoga solusi yang akan ditawarkan
penulis pada kesempatan kali ini, bisa membantu mereka, yang berkelimpahan dana
oleh karena berkat Tuhan, yang ingin berbagi kasih dengan sesama yang
membutuhkan, memprioritaskan penerima bantuan yang benar – benar membutuhkan
dan sarana penunjang perkembangan.
Berdasarkan
pengalaman pribadi pribadi penulis selama berkeliling ke sejumlah wilayah di Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan pernah hidup bersama masyarakat di daerah Nusa
Tenggara Timur (NTT) yang penuh keterbatasan seperti kekurangan sumber listrik,
sarana kesehatan (seperti obat – obatan, tenaga medis, etc), sumber air bersih
dan lain sebagainya, membaca banyak buku, menjadi guru honorer Teknologi
Informasi dan Komunikasi di Borong kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), mendengarkan saran dan keluhan, latar belakang pendidikan
penulis sebagai sarjana Teknik Elektro program studi Teknik Energi Listrik (Power
System Engineering) dan lain sebagainya.
Dalam
kesempatan kali ini, penulis hanya membahas tentang solusi kecil melawan
kekurangan sumber listrik yang murah meriah sebagai bagian dari solusi kecil
melawan ketertinggalan sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)
terlebih mereka yang tidak terlayani PLN (Perusahaan Listrik Negara) dengan
berbagai alasan tetapi berada pada atau dekat daerah yang mempunyai potensi untuk
membangkitkan tenaga listrik meggunakan teknologi renewable energy. Misalnya
pemukiman penduduk yang berada dekat sungai, pantai, banyak ternak (sapi,
kerbau, etc), atau yang memiliki angin yang kuat (bukan tornado atau puting
beliung).
Lebih
jauh mengenai pentingnya pengadaan sumber listrik? Kita semua makhluk yang
masih sehat pikirannya tahu benar manfaat listrik bagi kehidupan manusia. Dengan
adanya energi listrik, kita dapat mengoperasikan alat – alat elektronika/listrik
sebagai sarana bertukar informasi (baik yang mendidik untuk kebaikan maupun
kejahatan), hiburan, pengobatan, memasak, mencuci pakaian, menyetrika, penerangan
sampai untuk industri baik yang berskala kecil, menengah sampai besar.
Sebagai
prioritas untuk masyarakat pedesaan atau terpencil sudah begitu miskin lagi,
baiklah pembangunan sumber listrik ditujukan untuk penerangan, agar mereka
dapat beraktifitas dengan lebih baik di malam hari termasuk didalamnya adalah
belajar. Hal ini dimengerti oleh penulis waktu penulis ada di sana.
Pendidikan
adalah senjata utama melawan keterbelakangan. Pendapat ini penulis dapat dari
orang – orang yang lebih dahulu hidup dari penulis dan penulis setuju. Untuk
bisa maju dalam bidang pendidikan, siapapun harus belajar. Dalam pengamatan
penulis sewaktu hidup di daerah yang penuh dengan keterbatasan, murid – murid
penulis dulu, biasanya memprioritaskan membantu orang tua yang umumnya petani
atau nelayan misalnya mengangkut kayu bakar, mencuci pakaian di sungai dan lain
sebagainya, saat hari masih terang. Saat malam, barulah dipakai untuk belajar. Bagi
yang tidak ada listrik, biasanya menggunakan lampu minyak.
Apakah
anda yang sekarang belajar ditemani lampu paling minim 11 watt, pernah belajar
ditemani lampu minyak atau setara lampu 5 watt bahkan kurang? Jika jawabannya adalah
ya, apakah anda merasa bahagia? Atau nyaman? Atau bersemangat? Atau merasa
inilah situasi belajar paling ideal dan merasa perlu menyarankan agar orang
lain untuk melakukan hal yang sama? Jika
jawaban anda adalah ya, saya berani berkata bahwa anda sudah kehilangan akal
sehat anda dan layak menyandang gelar ‘BAPA SEGALA DUSTA’…….!!!!!!!!!!!
Bagi
yang akal sehatnya masih ada dan berkelimpahan dana dan ingin berbagi kasih,
gunakan dana anda, untuk membangun bagi mereka yang terpencil, pembangkit
listrik dengan teknologi renewable energy sesuai dengan potensi daerah yang ada
di sekitar mereka sekalipun pembangkit listrik yang dibangun hanya mampu
menyalakan lampu 14 watt per kepala keluarga.
Sebagai
contoh, untuk pemukiman penduduk dekat dengan sungai, dibangun pembangkit
listrik tenaga air. Di daerah dekat pantai yang anginnya kencang, dibangun
pembangkit listrik dengan menggunakan kincir angin yang dapat berputar. Di
daerah yang banyak kotoran ternaknya, dibangun pembangkit listrik dengan metode
biogas, di daerah yang panas yang banyak sinar matahari, dibangun pembangkit
listrik dengan menggunakan sel surya.
Sebagai
masukan bagi mereka yang berkelimpahan dana dan ingin berbagi kasih, penulis
membuat perkiraan yang penulis ketahui dari kesaksian banyak orang termasuk
yang sudah pernah menerima beasiswa tentang besar dana beasiswa. Sampai tahun
2012, besaran dana beasiswa dari pemerintah asing untuk menyekolahkan seorang
dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di luar negeri, kalau ditotal sampai
tamat sekolah dan dirupiahkan, kurang lebih Rp. 200 juta, yang mana jika sudah
selesai, orang ini belum tentu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat di
daerah terpencil. Dengan besaran dana yang sama, dapat dibangun sebuah
pembangkit listrik dengan teknologi renewable energy bagi masyarakat di daerah
terpencil, yang benar – benar membutuhkan bantuan dan seperti ‘terlupakan’
bahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sendiri, sekalipun hanya untuk
menyalakan lampu 14 watt per kepala keluarga sebanyak 10 kepala keluarga.
Dalam
hal ini, penulis tidak mengatakan bahwa pemberian beasiswa adalah salah. Pemberian
beasiswa adalah juga solusi melawan ketertinggalan. Tapi, mengingat pemberian
beasiswa umumnya adalah bagi mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan strata
1 dan memiliki nilai TOEFL/IELTS > 450, artinya pemberian beasiswa dari
pemerintah luar negeri adalah untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
sudah maju dan ingin lebih maju lagi dalam bidang studi peminatannya. Yang
mana, pemberian beasiswa sudah berlangsung bahkan puluhan tahun dengan tujuan
yang sama pula setiap tahunnya sampai tahun 2012 dan entah sampai kapan lagi, yaitu
‘membangun Nusa Tenggara Timur (NTT)’. Artinya pemberian beasiswa tidak membuat
perubahan yang signifikan bagi mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)
yang terpencil dan tertinggal. Dan mengingat tujuan umum pemberian beasiswa
adalah untuk ‘membangun Nusa Tenggara Timur (NTT)’ maka secara tidak langsung
meligitimasi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai penyandang predikat ‘Nusa Tetap
Tiarap’ atau ‘Nusa Terus Tidur’.
Sedangkan
bagi masyarakat daerah terpencil yang kemiskinan dan keterbelakangannya
‘dijual’ sebagai alasan mendapatkan beasiswa, yang jangankan menyelesaikan
pendidikan strata 1, untuk menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pun belum
tentu bisa, mendapatkan beasiswa ke luar negeri untuk melawan ketertinggalan
daerah leluhurnya adalah demikian berat bahkan sudah menjurus ke arah dongeng.
Apapun,
adalah anugerah yang mengagumkan, bagi mereka yang mendapatkan beasiswa ke luar
negeri ataupun bantuan pembangunan pembangkit listrik. Adalah baik, jika bisa
berjalan keduanya (pemberian beasiswa dan pembangunan pembangkit listrik bagi
masyarakat di daerah terpencil), tapi jika harus diprioritaskan, maka ini
kembali ke si pemilik dana kepada siapa akan diberikan.
Untuk
mereka yang berkelimpahan dana dan ingin berbagi kasih, kalian tahu mereka yang
terpencil dan seolah ‘terlupakan’ itu ada begitu pula sebaliknya. Tapi dengan
tidak tepatnya dalam pemberian bantuan yang bersumber dari dana anda, banyak
yang tahu adalah ‘kebenaran’ bahwa kalian peduli dengan meraka yang terpencil
dan seolah ‘terlupakan’ tapi apakah mereka yang terpencil dan seolah
‘terlupakan’ tahu akan ‘kebenaran’ itu?
Semoga
sedikit masukan dari penulis ini, dapat dibaca oleh mereka yang berkelimpahan
dana dan ingin berbagi kasih, supaya bisa lebih tepat dalam menyalurkan bantuan
dan hal yang paling dibutuhkan bagi mereka yang miskin, terpencil dan
terbelakang dalam provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).